Sabtu, 09 April 2011

SERAMBI MEKAH

Atjeh… tak sangka kita bersua lagi. Bersua dalam waktu yang beda tapi dalam situasi yang sama.
Ya…… setahun yang lalu aku ke bumimu. Bumi Serambi Mekah. Mereka biasa menyebutmu seperti itu.
Dulu saat belum terbentuk Republik Indonesia atau pada zaman kemerdekaan dan disaat pesawat terbang belum sepopuler dan semurah sekarang, umat muslim Nusantara menunaikan ibadah haji ke Tanah suci Mekah melalui jalan darat dan jalur laut. Jalan kaki atau menunggang kuda Menerabas hutan dan menembus pegunungan; menumpang truk memecah keramaian kota; dan bersamudra menerjang gelombang lautan dengan kapal layar. Berbulan-bulan, bertahun-tahun atau mungkin tidak kembali lagi ke pangkuan keluarga dan nusantara, karena liciknya daratan dan ganasnya lautan.

Mereka beribadah sambil mengembara, berdagang, menuntut ilmu, hingga berdakwah ke daerah-daerah yang disinggahinya. Atjeh merupakan pelabuhan terakhir Nusantara yang disinggahinya. Di sana mereka menempa mental, ilmu, hingga melengkapi segala kebutuhan guna perjalanan yang lebih jauh, berat dan menantang. Perjalanan memenuhi seruan Allah ke tanah suci Mekah. Itulah mengapa Atjeh kita kenal sebagai Serambi Mekah.

***
“Itu dulu bung! sebelum Atjeh bersama-sama berjuang membentuk bingkai Indonesi Raya……… Nasionalisme tempo doeloe. Dan sekarang orang lebih banyak bilang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)…. Sekarang serambi Mekah telah pindah ke Cengkareng, Tangerang-Jakarta, Surabaya atau Makasar”.

Sekarang, ketika panggilan ke tanah suci menjadi ritual tahunan dan ibadah prestise guna meraih gelar dan meningkatkan status social sebagai Pak Haji atau Bu Hajjah. Pake uang Negara lagi, atau hasil korupsi menipu rakyat. Mereka hanya butuh waktu beberapa jam saja menuju tanah suci Mekah. Menembus awan menumpang Garuda (Bukan burung garuda atau Garuda Pancasila…… tapi maskapai penerbangan).

Mungkin Aceh tidak lagi menjadi pelabuhan terakhir NKRI menuju tanah suci. Aceh tidak lagi berfungsi dan dikenang sebagai “Bumi Serambi Mekah”. Karena sekarang serambi itu telah pindah ke Airport di Cengkareng, Surabaya atau Makasar. Di dekatnya-pun telah dibangun asrama haji dimana calon-calon haji ditempa mental dan kesiapannya. Bahkan oleh-oleh untuk sanak-famili di rumah pun telah tersedia. Di Tanah Abang yang dekat dengan Cengkareng atau di Ampel yang dekat dengan Bandara Juanda-Surabaya. Kurma, kacang arab, alqur’an, peci haji, hingga biji tasbih tersedia di sana.

Dan hebatnya, kedua daerah tersebut (Tangerang-banten dan Makasar-Sulawesi selatan) menuntut diberlakukannya Syariat Islam sebagai wujud Otonomi Daerah. Layaknya propinsi NAD (Nangroe Aceh Darussalam) yang telah lebih dahulu menerapkan syariat Islam.
***

Senin, 27 Februari 2006 aku dan seorang kawan berencana melaksanakan sholat magrib di Masjid Raya Baiturahman, masjid terbesar dan bersejarah dalam peradaban perkembangan sejarah dan sosial di NAD. Baiturahman juga menjadi saksi gigihnya rakyat melawan penjajahan Belanda dan saksi sejarah kejamnya konflik senjata TNA dan TNI. Baiturahman juga turut menjadi saksi amukan ombak tsunami yang terjadi 26 desember 2005 pasca gempa maha dasyat. Kami masuk dari pintu samping pas di sebelah Pasar Atjeh. Dan langsung bergegas membersihkan sebagian anggota tubuh dengan air wudhu. Kami masuk ke masjid yang megah itu dan menunaikan sholat magrib berjamaah. Ba’da sholat magrib imam masjid, muazin dan perangkat masjid yang lain, kira-kira 4 orang memasuki ruangan di samping kanan dan kiri dari tempat imam memimpin sholat berjamaah. Tak lama kemudian salah satu dari mereka keluar dan menyiapkan loud speaker.
“Mungkin ia adalah Imam mesjid raya itu. Dan akan menyampaikan ceramah atau tauziyah kepada makmum masjid Baiturrahman”, Pikirku dalam hati.

Lalu aku berlalu untuk mencari kawan dan bergegas meninggalkan masjid raya, karea kawan kita yang lain sedang menunggu di pelataran parkir. Kebetulan mereka memang berbeda keyakinan dengan kami.

Sambil lalu kudengar dengan jelas imam masjid itu bertauziyah:
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. ……………….. Sekarang Atjeh tidak lagi dikenal sebagai Bumi Serambi Mekah. Kini Aceh telah menjelma menjadi Serambi Dunia………..”, kurang lebih ia memberikan pernyataan dalam prolognya.

Setahun yang lalu, sekitar jam delapan pagi waktu setempat, tepatnya tanggal 26 Desember 2004 Aceh diterpa bencana besar dan sangat dasyat. Gempa yang sangat dasyat menggentarkan daerah ini. Tak lama kemudian disusul gelombang besar Tsunami melumat bumi Aceh bak jilatan naga yang bergulung-gulung dan meluluh lantahkan sebagian isinya. Korban jiwa tidak lagi terbilang; rumah dan property lainnya hapir rata dengan tanah. Bahkan kapal tongkang sebesar 500 ton bisa tertarik ke daratan hampir 5 km jauhnya.

Musibah besar itu menggugah simpati simpati dunia internasional dan Indonesia juga tentunya. Wartawan-wartawan lokal dan internasional berdatangan ke bumi ini guna mendokumentasikan dan mempublikasikannya hampir ke seluruh dunia.

Ya…. Pintu hati dunia telah terketuk; empati dan simpati masyarakatnya telah tergugah. Bantuan materiil dan morilpun berdatangan. Aktivis-aktivis kemanusiaan berlomba-lomba menganalisis, mensurvey dan menggali kebutuhan guna pembangunan Aceh pasca Tsunami. Ngo (Non Government Organization) -2 Internasional dan LSM Lokal berlomba-lomba menawarkan dan menggelar proyek-proyek sosialnya.

Setahun lebih sudah mereka membantu, menolong, dan bekerja bersama-sama rakyat Aceh yang masih hidup dan survive dari terjangan dasyat Tsunami.
Ya mereka masih ada dan tetap akan di sini.
Aceh masih menjadi daerah yang seksi bagi mereka untuk menggarap proyek-proyek social-kemanusiaan.

Tidak lagi calon haji yang juga alim ulama singgah ke Aceh sebagai lintasan rute menuju tanah suci Mekah., tapi aktivis kemanusiaan, politisi sampai turis Tsunami dari berbagai dunia berdatangan ke sini.

Apakah Atjeh tidak lagi menjadi “Bumi Serambi Mekah” ?
Atau sekarang Aceh telah berubah menjadi “Serambi Dunia”.

Banda Aceh, 2 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar